Pelajaran fiqih adalah pelajaran yang sangat penting bagi kita semua karena berkaitan dengan benar tidaknya tata cara bersuci kita, ibadah kita, dan yang berkaitan dengan muamalah kita seperti tentang pembahasan masalah nikah, jual beli dan yang lainnya.
Kalau ada
yang bertanya apa sih yang dimaksud dengan ilmu fiqih?
Maka kita katakan
maksudnya adalah memahami hukum-hukum dari cabang – cabang syari’at (seperti
permasalahan ibadah dan muamalah -ed) berdasarkan al Qur’an, as Sunnah, Ijma’
dan Qiyas yang shahih.
Kalau ada
yang bertanya lagi kenapa sih kita harus mempelajari masalah fiqih?
Maka kita
katakan lagi karena mempelajari permaslahan fiqih adalah perkara yang sangat
penting, supaya ibadah kita sesuai dengan tuntutan syari’at disamping muamalah
kita juga, seperti dalam masalah nikah, jual beli dan yang lainnya.
Lalu kenapa para ulama mengawali kitab-kitab fiqih mereka dengan kitab thaharah (kitab yang membahas permasalahan bersuci) yah?
Lalu kenapa para ulama mengawali kitab-kitab fiqih mereka dengan kitab thaharah (kitab yang membahas permasalahan bersuci) yah?
Dikarenakan
ibadah yang paling agung adalah shalat dan shalat tidaklah sah kecuali
dilakukan dalam keadaan suci dari hadats besar dan hadats kecil makanya para
ulama mengawali kitab fiqih mereka dengan membahas masalah thaharah (tata cara
bersuci).
Rasulullah shalallaahu
‘alaihi wassalam bersabda : “Allah tidak menerima shalat salah seorang
diantara kalian yang berhadats sampai dia berwudhu.”(HR. Bukhari dan
Muslim dari Abu Hurairah)
Lalu apa sih
makna thaharah itu sendiri?
Thaharah
adalah menurut bahasa, berarti annazhaafah wannazaahah minal ahdaats,
bersih dan suci dari berbabagai hadats (hadast kecil maupun besar). Menurut
istilah raf’ul hadats au an izaalatun najas, menghilangkan hadats atau
membersihkan najis.
Para ulama
membagi thaharah menjadi dua :
- Thaharah maknawiyah
Yaitu
membersihkan diri dari kotoran dan najisnya perbuatan syirik (menyekutukkan
Allah), kekufuran, kenifaqkan, begitu juga membersihkan diri kita dari
perbuatan bid’ah dan kemaksiatan.
Dalil tetang
ini adalah firman Allah Ta’ala :
خُذْ مِنْ
أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا
“ Ambilah
shadaqah (zakat) dari harta mereka, guna membersihkan dan menyucikan
mereka.” (Qs. At Taubah : 103)
2. Thaharah hissiyyah
Yaitu dibagi
menjadi dua ;
1.
Membersihkan dari hadats, baik hadats kecil maupun hadats besar.
2.
Membersihkan dari najis.
Adapun yang
dibahas para ulama dalam kitab fiqih mereka adalah macam yang kedua.
Lalu apa
yang kita bahas sekarang ?
Pada
pembahasan kali ini kita membahas tentang masalah air karena air digunakan
sebagai alat untuk bersuci, oleh karena itulah penting bagi kita untuk
mengetahui masalah air.
Yang perlu
kita ketahui tentang air adalah :
Pertama
: Semua air
yang turun dari langit (air hujan dan salju) atau yang keluar dari dalam bumi
(air, mata air, air sungai, air sumur, dan air laut) adalah suci dan
mensucikan. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala :
وَأَنزَلْنَا
مِنَ السَّمَاءِ مَاءً طَهُورًا
“ Dan Kami
menurunkan dari langit air yang amat suci. “ (Qs. Al Furqaan : 48)
Dan dalam
sebuah hadits Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda tentang air
laut dan juga air sumur :
“ Ia (air
laut itu) suci airnya halal bangkainya.” (HR. Ibnu Majah, Imam Malik, Abu Dawud dan selain
mereka)
“
Sesungguhnya air (sumur) itu suci, tidak bisa dinajiskan oleh sesuatupun “ (HR. Tirmidzi, An Nasai,
dishahihkan oleh Syaikh al Albani).
Kedua : Air tetap dalam keadaan hukum asalnya yaitu suci walaupun tercampur dengan sesuatu yang suci selama tidak keluar dari batas kesuciannya yang mutlak.
Kedua : Air tetap dalam keadaan hukum asalnya yaitu suci walaupun tercampur dengan sesuatu yang suci selama tidak keluar dari batas kesuciannya yang mutlak.
Hal ini
berdasarkan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ketika
berkata kepada sekelompok wanita yang akan memandikan putrinya.
“
Mandikanlah di tiga kali, atau lima kali atau lebih dari itu jika kalian
berpendapat seperti itu, dengan air dan daun bidara. Dan pada siraman terakhir
berilah air yang bercampur kapur barus atau sedikit kapur barus.” (HR.
Muslim).
Ketiga : Janganlah terburu-buru menghukumi bahwa air itu najis walaupun terkena benda najis kecuali berubah salah satu sifatnya (baunya, warnanya atau rasanya).
Ketiga : Janganlah terburu-buru menghukumi bahwa air itu najis walaupun terkena benda najis kecuali berubah salah satu sifatnya (baunya, warnanya atau rasanya).
Hal ini
berdasarakan hadits dari Abu Sa’id al Khudry radhiyallahu ‘anhu, ia berkata
: “ Ada seorang shahabat yang bertanya Ya Rasulullah, bolehkah kami berwudhu
dengan air sumur budha’ah? Yaitu air sumur yang darah haid, daging anjing dan
barang yang berbau busuk dibuang kedalamnya. Maka Beliau menjawab :
sesungguhnya air itu suci, tidak bisa dinajiskan oleh sesuatupun “ (HR.
Tirmidzi, An Nasai, dishahihkan oleh Syaikh al Albani).
Adapun yang
dimaksud dengan kata : “ dibuang
kedalamnya” dalam hadits di atas adalah bahwa sumur ini adalah tempat
berkumpulnya air dari sebagian lembah, sehingga tidak sedikit penduduk
pedalaman yang singgah di sekitarnya (lembah masing-masing), lalu mereka
membuang kotoran yang dibawa dari rumahnya kesaluran air yang menuju ke sumur
tersebut, sehingga masuk kedalamnya. Bukan membuang sampah ke sumur itu.
Jadi
kesimpulan masalah air yang kita bahas sekarang ini ada tiga kesimpulan…?
Naam..,
Kesimpulannya adalah :
- Asal hukum air suci dan mensucikan
- Air yang tercampur benda suci maka hukumnya suci selama tidak keluar dari batas kesuciannya yang mutlak.
- Hukum air yang terkena benda najis dirinci
- Jika berubah salah satu sifatnya (baunya, atau warnanya atau rasanya) maka hukumnya menjadi najis.
- Jika tidak berubah salah satu sifatnya maka kembali kehukum asalnya yaitu suci dan mensucikan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar